Celingak-celinguk di Perpustakaan Nasional Baru



Saya harus mengawali post kali ini dengan rasa bersalah. Kenapa? Saya sudah berkunjung ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) yang baru sejak tempat ini baru empat bulan dibuka untuk umum dan saya baru bisa menulis tentang Perpusnas sekarang. Padahal, nggak sedikit yang bertanya tentang perpustakaan ini melalui Instagram saya.

Perlu diperhatikan, lokasi Perpusnas baru ada di Jalan Medan Merdeka Selatan No. 11, berbeda dengan Perpusnas di Jalan Salemba No. 28 A. Perpusnas baru kabarnya akan menjadi pusat koleksi buku. Sementara, Perpusnas Salemba menjadi tempat pengarsipan surat kabar langka dan pengurusan ISBN.


Perpustakaan yang baru diresmikan 14 September 2017 lalu oleh Presiden Joko Widodo ini letaknya lebih strategis dibandingkan Perpusnas Salemba. Perpusnas baru berada di tengah-tengah kota Jakarta. Pengguna Transjakarta diberi dua pilihan untuk mencapai tempat ini, yaitu dengan menuju Halte Balai Kota atau Halte Monas. Kalau memang rute bus yang dilalui sulit menuju Halte Balai Kota dan nggak keberatan berjalan sekitar 1 km setelah sampai di halte seperti saya, Halte Monas bisa jadi pilihan.

Hari dan jam buka Perpusnas baru:
Senin-Kamis | 08.30-16.00 WIB
Jumat             | 08.30-16.00 WIB
Sabtu              | 09.00-16.00 WIB


Berkat inisiatif bertanya, saya diarahkan untuk masuk gedung utama Perpusnas baru melalui bangunan berarsitektur khas Batavia. Saya pikir, saya harus mendaftarkan diri di tempat ini sebelum asik menjelajah gedung utama. Namun, senang sekali saya diarahkan ke sini karena ternyata bagian dalam bangunan berfungsi sebagai museum.

Kekurangan tempat ini ialah minimnya informasi mengenai fungsi bangunan. Teman saya, Lidya, yang berjalan kaki seperti saya pun sempat melewatkan museum dan masuk ke gedung utama melalui samping karena nggak tahu bagian dalamnya ternyata cukup menarik. Pengunjung yang datang dengan membawa kendaraan mungkin lebih banyak lagi yang melewatkan museum karena harus parkir di basement dan nggak melihat bangunan museum dengan jelas dari depan.

Bangunan ini menyambut kita dengan ruang duduk berisi sofa-sofa yang nyaman untuk membaca surat kabar. Semakin ke dalam, akan terlihat foto-foto kegiatan kepresidenan Pak Jokowi. Di ruangan lain, kita bisa mengenal sejarah aksara dan baca-tulis di Nusantara.

Perpusnas baru sepertinya tak ingin ketinggalan menyisipkan perangkat modern untuk kita. Di salah satu ruangan, terdapat layar digital yang memperlihatkan peta Indonesia. Kita bisa mempelajari kronologi bangsa Indonesia mengenal huruf dari sini.


Selesai belajar sejarah dalam waktu singkat, saya menyerbu ruang terbuka hijau yang menghubungkan bangunan depan dengan gedung utama Perpusnas baru. Nyaman sekali rasanya duduk-duduk sebentar di sini. Jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota yang biasa saya lihat sehari-hari.

Nggak salah kalau dari kejauhan saja kita merasa gedung utama Perpusnas baru termasuk tinggi. Perpusnas baru memang terdiri dari 24 lantai. Hebatnya lagi, perpustakaan ini kerap disebut sebagai perpustakaan nasional tertinggi di dunia dan mampu mengalahkan tinggi perpustakaan nasional Tiongkok. Saya belum menemukan data resmi sehingga nggak tahu kebenaran beritanya. Kalaupun nggak benar, Perpusnas baru sudah cukup bikin kita celingak-celinguk karena bingung saking besarnya.

Bagian depan gedung utama Perpusnas baru

Gedung utama Perpusnas baru jelas lebih modern dibandingkan bangunan berarsitektur khas Batavia di depannya. Di lobi utama gedung, terlihat sederetan lukisan tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Berjalan sebentar ke dalam, sulit rasanya kalau kita nggak kagum dengan rak buku yang sangat tinggi dan peta Indonesia yang terlihat di langit-langit gedung.

Baru pertama kali mengunjungi Perpustakaan baru? Pastikan datang ke lantai 2 (Layanan Keanggotaan & Penelusuran Informasi). Saya sempat mendaftar sebagai anggota secara mandiri melalui komputer. Selesai mengisi data diri, saya mendapat kertas berisi nomor antrean untuk membuat foto dan memproses kartu anggota di konter. Dari informasi yang diberikan, saya belum dapat meminjam buku sekalipun sudah memegang kartu anggota. Saya kurang paham alasan belum tersedianya buku untuk dipinjam. Entah karena semua buku dari Perpusnas Salemba belum selesai dipindahkan atau entah karena buku-bukunya nggak dibolehkan dipinjam. Namun, proses pendaftaran yang cepat dan nggak memungut biaya membuat saya tertarik mendaftarkan diri.


Tempat menunggu antrean di lantai 2

Sebelum terlanjur asik mengeksplor Perpusnas baru, perlu diingat bahwa sebagian besar ruangan melarang kita membawa tas ke dalamnya. Kita dihimbau untuk menitipkan terlebih dahulu tas di ruangan loker lantai 2 dan membawa barang-barang berharga untuk berkeliling. Petugas loker akan meminjamkan tas transparan yang dapat dipakai untuk membawa barang-barang tersebut.

Saya dan Lidya menemukan bahwa belum semua lantai siap dibuka untuk umum. Hal ini kami sadari saat mampir ke lantai 3 (Zona Promosi Budaya Gemar Membaca). Ruangan ini masih terlihat sepi dari segala macam perlengkapan yang memungkinkan untuk melakukan promosi. Naik dua lantai menggunakan eskalator ke lantai 4, saya dan Lidya menemukan Area Pameran. Kita sudah bisa melihat-lihat berbagai buku, foto, gambar, dan lukisan yang dipamerkan di area ini.


Monumen Nasional (Monas) terlihat dari jendela Area Pameran

Sebelum naik ke lantai dua, saya sempat melihat adanya cafe di lantai dasar. Merasa sedang lapar dan lebih memilih makanan berat? Perpusnas baru juga menyediakan Kantin di lantai 4. Makanan dan minuman yang ditawarkan cukup beragam. Beberapa pilihan makanannya termasuk bakso (Rp15.000) dan gado-gado (Rp15.000). Saya lihat, sih, nggak ada masalah kalau kita berniat membawa bekal sendiri dan menyantapnya di sini.   

Eskalator rupanya terbatas hanya sampai pada lantai 4. Untuk mengakses lantai-lantai selanjutnya, kita harus menggunakan lift. Mengingat gedung Perpusnas baru cukup tinggi, kesabaran kita sangat dibutuhkan selagi menunggu lift terbuka. Kalau kita belum hafal ruangan-ruangan apa saja yang ada di setiap lantai, jangan bingung karena di setiap lantainya terdapat direktori Perpusnas baru.

Lantai favorit saya sendiri ialah lantai 24, yang menjadi tempat bernaungnya Layanan Koleksi Budaya Nusantara & Eksekutif Lounge. Selanjutnya, lantai favorit nomor dua jatuh kepada lantai 7 di mana terdapat Layanan Koleksi Anak. Alasannya? Kurang seru rasanya kalau saya bocorkan di sini :p


Berhubung niat awal Lidya (dan harusnya saya juga) ialah mencari referensi untuk mengerjakan tesis, kami naik ke lantai 15, yaitu Layanan Koleksi Referens. Ruangan ini cukup nyaman dijadikan tempat bersantai sekalipun sedang nggak mencari referensi. Reading Area dengan furnitur modern yang disediakan termasuk sepi. Selain itu, di sini terdapat stop kontak untuk mengisi baterai smartphone dan laptop.


Mandiri mencari referensi menggunakan tab di lantai 15

Saya harus akui, suasana sepi terkadang justru bikin kita mengantuk dan niat awal untuk belajar atau bekerja menjadi buyar. Ingin menghindari hal seperti ini berarti kita tinggal datang ke lantai 21 (Layanan Koleksi Monograf Terbuka Klas 000-499). Selama dua kali ke Perpusnas baru, lantai inilah yang saya rasa selalu paling ramai. Mungkin koleksi buku yang sangat lengkap menjadi penyebab utamanya.

Tempat duduk nyaman bertebaran di lantai 21

Layanan Koleksi Monograf Terbuka Klas 500-999 berada tepat satu lantai di atas lantai 21. Berbeda dengan lantai-lantai lain, kita bisa berpindah dari lantai 21 ke lantai 22 dan sebaliknya tanpa menggunakan lift. Perpusnas baru sudah menyediakan tangga di dalam ruangan supaya kita mudah berpindah-pindah. Saya suka sekali melihat tangga ini, mengingatkan saya akan kantor Google yang ditampilkan dalam film ‘The Internship’.


Photos by Amadea

No comments:

Post a Comment