Setiap
orang pasti punya kota impiannya masing-masing. Mulai dari kota dengan sedikit
penduduk, kota dengan banyak pusat perbelanjaan, sampai kota dengan kemudahan
akses transportasi umum. Kalau saya? Saya suka kota yang metropolis, tapi tetap
harmonis. Dengan trotoar yang layak pakai, lingkungan yang jauh dari sampah, kondisi
yang bebas dari polusi, dan pohon-pohon yang bikin suasana kota selalu sejuk.
Gambarannya
kurang lebih seperti Singapura. Namun, kota ini tetap memiliki kekurangan.
Dalam benak saya, kota impian itu teratur tapi nggak perlu punya peraturan
seketat Singapura supaya tetap bisa terasa homey
bagi siapapun yang datang.
Nah,
Ho Chi Min City mungkin jadi kota yang mendekati definisi kota impian saya. Kota ini punya trotoar yang nyaman untuk berjalan kaki, bersih, nggak banyak polusi karena jumlah mobil termasuk sedikit, dan banyak pohon di sana-sini. Sementara, peraturannya kurang lebih sama
dengan Jakarta –sebagian ada untuk dipatuhi dan sebagian ada untuk dilanggar.
Enaknya, sih, peraturan untuk nggak ngebut sangat dijaga di kota ini.
Selama
di Ho Chi Minh City, saya dan teman-teman banyak berjalan kaki ke sana ke mari.
Banyak bercanda selagi jalan-jalan, tanpa ada keluhan panas dan bau asap.
Kegiatan yang menurut saya mungkin sulit dilakukan di Jakarta.
Kalau
capek berjalan-jalan, Ho Chi Minh City punya taman-taman yang nyaman untuk istirahat.
Menariknya, di tengah kota banyak terdapat taman dengan pohon-pohon tinggi yang
umurnya sudah ratusan tahun. Langsung kebayang betapa enaknya tidur di taman
ini.
Kawasan
yang jadi favorit saya selama kami berkeliling di Ho Chi Minh City terletak di
antara Saigon Central Post Office dan Kumho Asiana Plaza. Kawasan ini
dipenuhi dengan toko dan kafe yang menjual berbagai buku, alat tulis, dan
peralatan seni. Sayangnya, buku-buku yang dijual tersedia dalam bahasa Vietnam.
Kalau nggak, saya mungkin sudah kalap belanja buku. Saya akhirnya hanya membeli
beberapa postcards.
Selain
itu, kami sempat melewati Municipal Theatre yang lebih dikenal dengan nama ‘Saigon
Opera House’. Dulunya, tempat yang dibangun oleh arsitek Prancis ini dibangun
sebagai ‘OpĂ©ra
de Saigon’ untuk menghibur kolonis Prancis. Bangunannya pun bisa dilihat mengambil gaya arsitektur
kolonial Prancis.
Saya dan teman-teman memutuskan berfoto
dulu sebelum lanjut berjalan-jalan
Saat
malam, saya dan teman-teman sempat mengunjungi kawasan Ben Thanh Market.
Sebenarnya, di siang hari, pasar ini nggak beda dengan pasar-pasar lain karena
membuka kios di dalam gedung pasar. Tapi, setelah matahari terbenam, pemilik
kios berhamburan ke pinggir jalan untuk menjajakan dagangannya. Kita bisa lihat
serunya aktivitas penduduk lokal saat malam hari di kawasan ini.
Pastinya,
sekitar Ben Thanh Market juga banyak dituju untuk makan ini dan itu. Buat yang
muslim dan penggila seafood seperti
saya, harus siap-siap menahan diri karena banyak seafood nggak
aman yang wangi lezatnya mengular ke mana-mana. Di luar itu, makanan yang bisa dicoba mungkin hanyalah street food yang manis. Teman-teman saya
sendiri sempat membeli sticky rice
berwarna-warni yang katanya, sih, rasanya seperti sticky rice khas Thailand. Saya kurang tahu rasanya seperti apa karena nggak
begitu doyan sticky rice :p
Kecantikan
Ho Chi Minh City saat malam hari menurut saya paling jelas terlihat di sekitar
kantor Ho Chi Minh City People’s Committee. Dekat kantor ini terdapat monumen
yang dipersembahkan untuk mendiang Presiden Ho Chi Minh. Sekitar kantor ini
juga punya lapangan luas dikelilingi pohon-pohon, yang jadi tempat berkumpulnya
penduduk lokal mulai dari anak-anak sampai manula.
Photos by
Amadea
No comments:
Post a Comment