Saya
sempat kebingungan memilih destinasi wisata untuk didatangi saat baru sampai di
Yogyakarta untuk liburan kali ini. Secara, industri wisata Yogya saat ini
sedang maju-majunya. Kita nggak akan pernah kehabisan tempat berlibur karena
selalu ada tempat baru yang bikin penasaran.
Akhirnya,
saya terpikir untuk mengunjungi tempat yang letaknya dekat dari rumah terlebih
dulu. Berdiskusi sebentar dan keluarlah ide mengunjungi Dusun Kemusuk dari adik
saya. Dia bilang, ada museum di sana yang lokasinya bisa dicapai beberapa menit
menggunakan sepeda dari rumah. Saya sempat nggak kebayang ada museum di
tengah-tengah dusun. Setelah saya cek di Google, Kemusuk ternyata memang banyak
dikenal berkat adanya Museum Memorial Jenderal Besar HM. Soeharto.
Museum
Memorial Jenderal Besar HM. Soeharto berada di Jalan Nulis – Puluhan, Dusun
Kemusuk, Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul. Jarak dari rumah di Godean ke
tempat ini ternyata memang hanya sekitar 4 km. Nah, H. Muhammad
Soeharto, yang akrab disapa Pak Harto, ternyata berasal dari daerah ini. Presiden
Republik Indonesia kedua tersebut lahir di Kemusuk pada tanggal 8 Juni 1921
silam.
Dalam
perjalanan menggunakan sepeda ke museum ini, kami banyak melalui hamparan
sawah. Kehijauan terlihat di sana dan sini. Jumlah mobil yang berpapasan dengan
kami mungkin bisa dihitung dengan jari. Tapi, saya langsung merasakan kemegahan
begitu sampai di sekitar museum.
Kita
bisa lihat patung besar Pak Harto yang terbuat dari tembaga dari gerbang museum.
Lalu, di bagian depan museum terdapat relief besar pepatah Jawa ‘Sa Sa Sa’ yang
bermakna ‘Sabar atine (selalu sabar),
Saleh pikolahe (selalu saleh, taat
beragama), Sareh tumindake (selalu bijaksana)’.
Relief ini “didampingi” masjid kecil yang sangat nyaman untuk beribadah. Bukan cuma
itu, kita juga bisa lihat patung Pak Harto kecil sedang bermain kerbau. Saya
rasa patung ini dibuat untuk menggambarkan masa kecil Pak Harto yang
sederhana, yang jauh sekali dari bayangan orang-orang kebanyakan.
Bagian
tengah area museum diisi dengan bangunan yang bentuknya menyerupai rumah joglo.
Sekeliling bangunan ini terbuka sehingga siapapun bebas duduk di dalamnya
selama bersedia melepas alas kaki. Saya juga sempat duduk sebentar di sini
untuk mendengar penjelasan tentang museum dan menonton sekilas cerita
perjalanan hidup Pak Harto. Enaknya, di bagian pinggir bangunan juga disediakan
beberapa kursi. Saya sempat lihat ada beberapa pengunjung yang duduk-duduk
santai di sini untuk menonton video sambil menikmati mi instan cup.
Bagian
utama Museum Memorial Jenderal Besar HM. Soeharto adalah gedung yang bernama
Atmosudiro. Sebelum masuk ke gedung ini, kita akan diminta mengisi daftar
pengunjung karena memang pihak museum nggak memungut biaya sama sekali. Museum
yang awalnya saya kira sepi pengunjung ternyata justru banyak peminatnya.
Masuk
museum dengan gratis artinya saya nggak berani berekspektasi besar. Tapi, di
luar dugaan, dari luar bangunan utamanya saja, penataan museum terlihat modern
dan terawat. Saya melihat kondisi cat biru terangnya masih baru dan
lingkungan sekitarnya sangat bersih.
Kalau
saya nggak salah informasi, nama Atmosudiro diambil berdasarkan nama kakek Pak
Harto karena gedungnya menempati bekas kediaman kakek beliau. Saya sempat
terkagum-kagum sendiri saat baru menginjakkan kaki ke dalam Gedung Atmosudiro.
Kita akan serasa dibawa masuk ke masa lalu oleh lorong besar berwarna hitam
yang berbentuk gulungan rol film
raksasa.
Selasar A: Pengantar Memorial
Selasar B: Serangan Umum 1 Maret 1949
Gedung
Atmosudiro berisi kisah hidup Pak Harto. Kita nggak perlu bingung harus mulai mengikuti
kisah Pak Harto dari mana karena bagian dalam gedung ini dibentuk menyerupai
labirin yang hanya punya satu jalur. Jalur ini bercerita kehidupan beliau
sesuai dengan periode waktunya. Ditambah, gedung ini dilengkapi layar sentuh
yang bisa dibaca-baca sesukanya supaya kita mendapat penjelasan lebih banyak
tentang Pak Harto.
“Labirin”
dalam Gedung Atmosudiro membawa kita ke dalam lima tema yang berbeda. Setiap
temanya dipisahkan dengan pembagian selasar supaya kita nggak pusing mengikuti cerita
hidup Pak Harto. Mulai dari Selasar A: Pengantar Memorial, Selasar B: Serangan
Umum 1 Maret 1949, Selasar C: Operasi Trikora, Selasar D: Pemberontakan
G30S/PKI, sampai yang terakhir adalah Selasar E: Repelita & Hasil
Pembangunan.
Penataan
Museum Memorial Jenderal Besar HM. Soeharto ternyata nggak hanya modern di
luar. Kisah hidup Pak Harto di dalam Gedung Atmosudiro pun menggunakan visualisasi
yang sangat menarik. Saya jadi heboh sendiri karena informasi yang diberikan menyenangkan dan mudah diterima.
Selasar C: Operasi Trikora
Selasar D: Pemberontakan G30S/PKI
Selasar E: Repelita & Hasil Pembangunan
Selesai
mengikuti kisah hidup Pak Harto di kelima selasar bukan berarti nggak ada lagi
yang bisa dilihat. Keluar dari Gedung Atmosudiro, kita bisa “mampir” ke Gedung
Notosudiro atau bekas kediaman kakek buyut Pak Harto.
Berjalan
ke samping Gedung Notosudiro, berdiri petilasan tempat Pak Harto dilahirkan. Kita
bisa lihat situs pondasi rumah di mana Pak Harto dilahirkan. Lalu, di bagian
belakangnya, terdapat sumur rumah tersebut.
Walaupun
rumah kelahiran Pak Harto hanya tinggal sisa fondasinya saja, tempat ini
ternyata dialihfungsikan dengan baik. Kita bisa membaca berbagai buku di tempat
ini, terutama buku-buku yang berhubungan dengan Pak Harto.
Photos by
Amadea
ijin buat video lomba boleh?
ReplyDelete